Tahu, makanan sederhana yang akrab di lidah masyarakat Indonesia, sering kali hanya dianggap sebagai lauk pelengkap. Digoreng kering, dimasak kuah, atau dijadikan isian gorengan, tahu jarang menarik perhatian lebih dari sekadar rasa. Padahal, di balik kelembutan dan kelezatannya, tersimpan cerita panjang yang jarang kita dengar. Setiap tahu yang kita makan bukan hanya hasil dari dapur, tapi dari perjalanan panjang mulai dari ladang kedelai hingga dapur rumah tangga.

Proses pembuatan tahu dimulai dari kedelai, yang direndam selama berjam-jam untuk kemudian digiling dan dimasak. Air rebusan kedelai itu diperas, lalu diberi bahan penggumpal seperti cuka atau air perasan daun pepaya. Dari sana, gumpalan putih itu dicetak dan di peras hingga padat. Proses ini terlihat sederhana, tapi butuh ketelatenan, kekuatan fisik, dan ketajaman rasa untuk menghasilkan tahu yang tidak hanya enak tapi juga tahan lama. Para pembuat tahu, yang biasanya bekerja sejak dini hari, sering kali bekerja dalam diam—tak terlihat, tapi hasilnya kita nikmati setiap hari.

Banyak pengrajin tahu adalah pelaku usaha kecil yang menjalankan usaha turun-temurun. Mereka bekerja dari dapur kecil di belakang rumah, menggantungkan hidup dari hasil penjualan tahu yang dijajakan di pasar tradisional. Di tengah tantangan harga kedelai impor yang fluktuatif, kenaikan biaya produksi, dan persaingan pasar, mereka tetap bertahan karena tahu bukan sekadar produk—tapi warisan. Mereka tahu, dari tahu-lah dapur mereka tetap mengepul dan anak-anak mereka bisa sekolah.

Jadi, lain kali saat kita menggigit tahu goreng hangat atau menyendok tahu isi favorit, sempatkan untuk berpikir sejenak tentang tangan-tangan yang membuatnya. Tentang kerja keras, keahlian, dan ketekunan yang tersembunyi di balik lauk sederhana itu. Cerita tahu adalah cerpen bahagia tentang kesederhanaan yang tak bisa diremehkan. Dan mungkin, dari tahu, kita bisa belajar satu hal penting: bahwa yang paling bernilai kadang hadir dalam bentuk yang paling sederhana.