Bullying sering kali diidentikkan dengan anak-anak atau remaja, terutama di lingkungan sekolah. Namun, kenyataannya perilaku ini tidak terbatas pada usia tertentu. Orang dewasa pun bisa menjadi pelaku maupun korban bullying, baik di lingkungan kerja, keluarga, maupun dalam kehidupan sosial. Fenomena ini menunjukkan bahwa bullying adalah masalah perilaku yang melintasi batas usia dan strata sosial, dengan dampak yang bisa merugikan kesehatan mental serta hubungan interpersonal.
Pada anak-anak dan remaja, bullying biasanya dilakukan secara verbal, fisik, atau melalui media sosial play228 (cyberbullying). Pola ini sering kali terbawa hingga dewasa, meskipun bentuknya menjadi lebih halus atau terselubung. Di tempat kerja, misalnya, bullying dapat muncul dalam bentuk pelecehan verbal, intimidasi, pengucilan, atau sabotase terhadap kinerja seseorang. Dalam keluarga, bullying sering kali muncul sebagai dominasi satu anggota keluarga terhadap yang lain, baik secara emosional maupun fisik.
Dampak dari bullying tidak hanya dirasakan oleh korban, tetapi juga oleh lingkungan sekitarnya. Korban bullying sering mengalami stres, depresi, rendahnya rasa percaya diri, hingga trauma jangka panjang. Sementara itu, pelaku bullying yang tidak dihentikan perilakunya cenderung terus mengulangi pola tersebut, bahkan mungkin mewariskan perilaku serupa kepada generasi berikutnya. Ini menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus tanpa adanya kesadaran dan intervensi dari pihak terkait.
Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk menyadari bahwa bullying adalah masalah serius yang tidak boleh diabaikan, apa pun bentuk dan siapa pun pelakunya. Pencegahan bullying harus dimulai dari pendidikan sejak dini, termasuk pengajaran tentang empati, pengendalian diri, dan komunikasi yang sehat. Untuk orang dewasa, penting untuk menciptakan budaya saling menghormati, baik di tempat kerja maupun di rumah. Dengan begitu, kita dapat menciptakan lingkungan yang bebas dari perilaku bullying dan lebih kondusif untuk perkembangan positif di segala usia.